Esemka Bethoro Suryo

Esemka Bethoro Suryo

Berkembangnya teknologi otomotif di dunia belakangan ini memicu meningkatnya pembelian kendaraan bermotor oleh karena itu konsumsi bahan bakar akan meningkat tajam padahal minyak bumi tidak dapat diperbaharui, oleh karena itu harus ada inovasi agar kita tidak bergantung pada bahan bakar yang berasal dari minyak bumi saja.
Dengan itu perlu di temukan inovasi-inovasi baru di dunia otomotif agar kita tidak bergantung pada bahan bakar dari minyak bumi. Maka belakangan ini berkembang mobil listrik di dunia, walaupun di indonesia belum banyak orang mengetahuinya akan teknologi ini tetapi di indonesia sudah mulai dikembangan mobil listrik yang di nilai ramah lingkungan atau bahasa kerennya Go Green . Hal itu sudah diawali dengan pengembangan mobil listrik yang dilakukan Bp. Dahlan Iskan yang cukup fenomenal itu.


Teknik Otomotif SMK Warga Surakarta juga tidak mau ketinggalan untuk mencoba mempelajari dan merakit mobil listrik, tidak hanya di situ saja Teknik Otomotif SMK Warga Surakarta juga mengembangkan mobil listriknya dengan mengaplikasikan Solar Cell, karena melihat melimpahnya energi matahari di yang ada,sehingga sistem pengisian ulang tidak hanya mengandalkan tenaga listrik dari Generator atau arus listrk yang ada di rumah – rumah saja melainkan bisa memanfaatkan sinar matahari yang melimpah.
Mobil Listrik SMK Warga di beri nama Esemka Bethoro Suryo yang diambil dari pewayangan yang berarti Dewa Matahari yang pada bulan november 2014 sudah di pamerkan dalam acara Expo Pruduk Kompetensi Siswa yang dilangsungkan di PRPP Semarang Jateng.
Sampai saat Teknik Otomotif SMK Warga tetap melakukan riset terhadap mobil listrik ini supaya lebih baik kedepannya
Bravo SMK Warga Surakarta

Menuju Dunia Kerja

Menuju Dunia Kerja

Dunia kerja, dunia yang ditunggu oleh sebagian besar lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dimana mereka bisa menerapkan ilmu yang didapat selama duduk dibangku  SMK  dan merasakan hasil jerih payahnya sendiri. Namun dunia kerja bukanlah dunia yang selalu indah, banyak tantangan yang akan dihadapi nantinya. Dalam era persaingan bebas , siap atau tidak siap angkatan kerja Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara lainnya harus bersaing untuk mendapatkan kesempatan kerja yang ada. Apalagi mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginan  bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, persiapan yang perlu diperhatikan tidak cukup hanya pengetahuan (knowledge) saja, tetapi juga sikap (attitude), keahlian (skill), dan pengalaman berorganisasi .

Proses menuju dunia kerja saat ini tidak mudah, banyak persaingan dan persyaratan yang diminta oleh perusahaan terhadap calon tenaga kerja. Mendapatkan  pekerjaan menjadi mudah apabila calon tenaga kerja memiliki kompetensi atau kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pengalaman selama ini sering kali terjadi bukan lapangan kerja yang tidak ada, melainkan karena tidak tahu di mana ada pekerjaan itu dan ketrampilan apa yang diperlukan atau syarat-syarat yang diperlukan oleh setiap lowongan pekerjaan yang tersedia. Untuk itu perlu mempersiapkan segala sesuatunya, baik sebelum memasuki dunia kerja, ketika bekerja bahkan setelah bekerja.

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan persiapan masuk dunia kerja selain sikap dan mental serta keahlian juga persiapan administratif. Selain itu kita juga harus aktif untuk mencari sumber informasi lowongan pekerjaan baik itu dari media masa, lembaga bursa kerja khusus (BKK), situs-situs lowongon kerja atau dari sumber yang bisa dipercaya (relasi). Terkadang informasi yang ada baik melalui media cetak maupun lainnya menampilkan hal-hal yang menarik agar para pencari kerja tertarik untuk mengikutinya. Untuk itu kita harus selektif untuk memilah lowongan kerja yang ada. Sebagai patokan bagi para pencari kerja  bahwa lowongan pekerjaan yang didapat itu benar, maka perlu gambaran yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Informasi lowongan kerja itu sekurang-kurangnnya memuat tentang identitas perusahaan, jumlah jabatan, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, syarat jabatan, batas waktu pemenuhan lowongan dan alamat pemberi kerja.

Dalam dunia kerja kita dihadapkan dalam berbagai macam suasana baik senang ataupun tidak senang, yang akan berpengaruh pada pekerjaan kita. Semua itu bisa bersumber dari lingkungan atau dari dalam diri kita masing-masing. Untuk itu sebagai pekerja kita harus bisa mengelola kecerdasan emosional kita demi mencapai kesuksesan dalam bekerja. Kecerdasan emosional itu meliputi kemampuan mengenali emosi diri sendiri, kemampuan mengendalikan emosi dan mengambil tindakan  yang tepat, kemampuan mengenali emosi orang lain, kemampuan bertindak dan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang memahami kondisi dirinya, emosi-emosi yang terjadi, serta mengambil tindakan yang tepat. Orang tersebut juga secara sosial mampu mengenali dan berempati terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan menanggapinya secara proporsional.

Mendapatkan pekerjaan sesuai keinginan dan dapat menggapai kesuksesan dalam bekerja serta kesuksesan dalam hidup adalah keinginan semua orang. Semua bersumber pada diri kita masing-masing, seberapa besar kemauan dan kemampuan kita dalam meraihnya.

Sumber : http://www.muhammadnoer.com/kecerdasan-emosional-sukses-pekerjaan/

Panduan Lengkap Memasuki Dunia Kerja Untuk SMK

Pengirim : Elika

Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).

Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.

Nilai

Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.

Fungsi

Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).

Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.

Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.

Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta.

Saya Drs. Nurkolis, MM setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Pengirim : Drs. Nurkolis, MM

Pendidikan dan Proses Humanisasi

Pendidikan dan Proses Humanisasi

Manusia adalah sebagai makhluk sosial ( Homo Sosius ), yang dibekali Tuhan dengan akal, di mana akal akan menjadikan manusia mengetahui segala sesuatu. Sesuatu yang sepele terkadang terlupakan begitu saja dalam kehidupan. Manusia sering terfokus kepada persoalan besar, namun sering kali terlena pada permasalahan yang sepele.

Padahal bila ditinjau secara filosofis, akan menjadi fondasi untuk membangun kesadaran intelektual. Maka dari itu manusia seharusnya memahami hakekat diri dan lingkungan dalam proses perubahan. Proses penyadaran di sini menjadi amat penting di dalam kehidupan manusia.

Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di belahan dunia manapun. Namun pendidikan yang diharapkan sebagai bagian dari proses kehidupan yang dapat mengentaskan manusia dari penindasan dan kesengsaraan ternyata menjadi bagian yang menindas manusia itu sendiri.

Oleh karena itu bagaimana sekarang memposisikan proses pembelajaran sebagai hal yang suci dan sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu sebuah proses pembelajaran yang tidak menindas dan tidak ada yang tertindas. Ketika seseorang merasakan hak-haknya dirampas, maka seharusnya ia menuntut.

Pada dasarnya tidak ada yang dapat mengubah nasib kita kecuali diri kita sendiri. Oleh karena itu, setiap manusia harus berusaha keluar dari segala bentuk penindasan dan berusaha memerangi setiap bentuk penindasan. Selama ini kita melihat penindasan justru lahir dari dunia pendidikan yang selama ini kita banggakan.

Sekolah selama ini dijadikan sebuah pabrik, di mana lulusan-lulusannya siap menjadi tenaga kerja siap pakai. Maka sebagian fungsi sekolah yang ada di Indonesia tidak lebih hanya sebagai cara untuk mencari bekal untuk kerja. Tidak mengherankan ketika siswa tidak menjadi semakin cerdas, tapi menjadi semakin beringas dan brutal.

Tawuran pelajar terjadi dimana-mana dan banyak sekali penyalahgunaan NARKOBA yang dilakukan oleh pelajar. Hal itu merupakan bukti ketidakberhasilan sekolah untuk membentuk siswa menjadi manusia pembelajar. Pembelajar adalah individu-individu yang dapat memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk.

Beberapa contoh di atas merupakan pertanda bahwa pendidikan hanya dijadikan ajang penindasan bagi siswa. Erat kaitannya dengan hal tersebut, Freire yang adalah seorang tokoh pendidikan menggagas adanya concientizacao ( kesadaran untuk melakukan ). Concientizacao adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. Dapat memberantas buta huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.

Freire mengklarifikasikan kesadaran dalam tiga hal. Pertama, kesadaran magis ( magical conciousness ) yaitu kesadaran yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan yang lainnya, dalam hal ini melihat faktor di luar manusia. Kedua, kesadaran naf ( Naival consciousness ) yaitu manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis ( critical conciousness ) yaitu sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Kritis penyadaran struktur dan sistem politik, sosial, ekonomi, budaya pada masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa kritisme sangatlah penting di dalam pelembagaan penyadaran masyarakat.

Sebuah kenyataan tidak harus menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka tugas manusia untuk merubahnya, agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Kenyataan tersebut sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia sejati adalah pelaku ( subyek ), bukan obyek atau penderita. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi bebas. Kesemuanya itu sering disebut dengan tujuan humanisasi Freire.

Freire juga menyebutkan pendidikan seharusnya berorientasi kepada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya sebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan sarana untuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Hal ini juga didukung oleh Lodge yang menyatakan life is education, education is life.

*) Penulis adalah Benny Setiawan, mahasiswa fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Pengirim : www.sekolahindonesia.com

Tiba Saatnya Mengakhiri Pendidikan?

Tiba Saatnya Mengakhiri Pendidikan?

MANA yang harus didahulukan antara anak dan pendidikan? Kedua isu tersebut tidak bisa didikotomikan karena setali tiga uang, terlebih jika kita memperbincangkan masa depan kita. Pendidikan merupakan bekal untuk menapaki masa depan anak cucu kita.

Namun, bahwa dunia pendidikan kita belum menunjukkan gambaran yang menjanjikan. Menurut data dari Balitbang Departemen Pendidikan Nasional (2001) bahwa sekitar tujuh juta anak terancam berhenti sekolah. Mereka terpaksa menjadi pekerja anak sebagai akibat dari kemiskinan dan tekanan hidup.

Sementara itu, 15 juta anak- anak yang sekarang masuk kelas satu sekolah dasar (SD), diperkirakan hanya 70 persen yang dapat mencapai kelas enam. Dari yang lulus tersebut, hanya kurang dari separuhnya yang kemungkinan dapat meneruskan pendidikannya ke sekolah lanjutan.

Tak perlu heran bila saat ini terdapat sekitar 12 juta anak usia 7 hingga 15 tahun tidak bersekolah dan terancam putus sekolah. Lebih 3,5 juta anak di antaranya menjadi pekerja anak. Maka, realitas di atas telah memberi sedikit diskripsi apa yang terjadi sekarang.

PENDIDIKAN merupakan tabungan masa depan bagi peradaban kita. Artinya baik-buruknya, makmur-sengsaranya, berkualitas-jeleknya wajah peradaban kita, tergantung proses pendidikan tersebut. Maka, wajah kita yang saat ini dipolesi oleh kemiskinan dan kebodohan menunjukkan kegagalan dari pendidikan kita.

Tingkat pengangguran yang tinggi, frekuensi kriminalitas yang menaik, dan keresahan sosial yang muncul dalam berbagai bentuk merupakan efek ganda (multifler effect) dari kemiskinan yang kita alami saat ini. Sedangkan kemiskinan dan kebodohan yang merupakan momok bagi negara berkembang seperti Indonesia, adalah rantai sosial pertama dalam kegagalan pendidikan kita.

Tahun 2000 lalu kualitas sumber daya manusia (human development index, HDI) kita menduduki peringkat rendah, yaitu 109 dari 174 negara. Dua tahun kemudian, Indonesia tidak jauh beda yakni peringkat 106 dari 170 negara. Angka ini jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (peringkat 56), Filipina (77), Thailand (67), Singapura (22) dan Brunei Darussalam (25). Sehingga, dapat dipastikan tahun ini kita belum bisa keluar dari kualitas hidup yang rendah akibat beberapa stimulus-bom Bali; kenaikan harga BBM, TDL, dan telepon-yang justru kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Maka, upaya memberantas kebodohan dan kemiskinan tidak bisa tidak harus melewati jembatan emas yakni pendidikan. Dalam hal ini pendidikan harus melakukan reposisi dan refungsi kalau ingin menjadi perubah wajah peradaban kita yang tidak sehat ini.

Dalam UUD 1945 dijelaskan, pendidikan adalah hak warga negara, sehingga monopoli negara dalam dunia pendidikan menjadi pilihan yang pahit. Negara sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan harus menempatkan pendidikan sebagai proses pencarian makna hidup yang lebih baik menuju keadilan dan kesejahteraan.

Sayangnya, pendidikan justru menjadi metode negara dalam mengontrol rakyat. Sehingga, pendidikan sering kali tidak lebih dari upaya setengah-setengah dari negara untuk mengubah peradaban miskin ini.

Darodjah, Kepala TK Tarbiyatul Banin VIII Desa Pucung, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang

Pengirim : Darodjah